Minggu, 23 Januari 2011

Tentang Musim

by Lan Fang


***

Kamu berkenalan dengannya ketika sebuah huruf jatuh dari lembaran buku yang kamu baca. Mungkin huruf itu tergelincir. Belum sempurna rasa terkejutmu, tangkai yang menopang huruf menjadi tungkai, badannya menjadi dada, dan ada tumpuan yang menyangga sebuah bulat telur yang kau sebut kepala. Ia sempurna menjadi tubuh sebelum menyentuh lantai, rubuh.
"Aku Jo," Ia menyapamu begitu ramah.
"Kamu siapa?" Kamu bertanya dalam kuasa keterpesonaan. Dia tinggi besar seperti benteng dan sekuat banteng. Suaranya seperti daun kering yang diremukkan oleh angin. Tetapi yang membuatmu tidak bisa melepaskan pandang darinya adalah sepasang matanya yang indah. Seluruh matanya berwarna hitam dengan lingkaran putih di tengahnya.
Keterpesonaan atau keterkejutan?
"Aku malaikat," jawabnya.
Kali ini kamu terkejut. Bukan terpesona.
Kamu tertawa. "Kamu bohong. Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi. Kamu tidak punya sayap. Kamu tidak berjubah. Kakimu menyentuh tanah, kamu tidak terbang. Dan, namamu Jo, bukan Jibril atau Gabriel."
Senyumnya melebar, "Yang bersayap itu bukan malaikat, tetapi burung. Yang berjubah itu bukan malaikat, tetapi orang kehujanan. Yang terbang itu bukan malaikat, tetapi pilot. Dan malaikat itu banyak, bukan cuma Jibril atau Gabriel."
Ia membentangkan tangannya, merengkuhmu sampai kamu masuk ke dalam pendaran cahaya. Kamu melihat cahaya itu menerobos jendela-jendela besar yang terbuka lebar. Sebagian memantul pada permukaan air kolam dihalaman belakang. Kamu menggerutu dalam hati karena mendadak migren menyerangmu (kamu selalu begitu bila bertabrakan dengan cahaya). Padahal pemilik toko buku ini menyiapkan kelambu bambu untuk menghalau kemilau matahari sore.
"Aku tercipta dari cahaya."
Kamu berkerjap-kerjap berusaha menyesuaikan matamu dengan silau.
"Kulihat sejak pagi sampai sore kamu cuma duduk membaca. Apakah tidak membosankan?" Ia menjadi cahaya yang sedikit meredup.
Kamu menjawabnya, "Biar saja. Aku lebih bosan menunggu empat musim yang tidak kunjung datang. Bahkan mereka tidak seperti yang seharusnya. Dedaunan gugur padahal matahari sedang layu, angin terlihat pucat tetapi bunga mekar di atas salju. Mereka kacau. Aku jadi tidak bisa mempercayai mereka. Mungkin mereka sudah lupa padaku, akan lupa, atau melupakanku sama sekali itu lebih baik bagi mereka. Lalu, menurutmu, apakah aku masih harus menunggu? Padahal aku sudah merasa begitu tumpul," entah dari mana kamu mempercayainya begitu saja. Apakah karena dia mengaku malaikat?
"Kamu masih saja gerimis. Belum menjadi bunga. Tidak pernah menjadi belati. Masih saja merindukan empat musim yang tidak pernah ada. Percayalah, mereka tidak akan pernah datang. Karena kalau mereka datang padamu, maka waktu akan berhenti, mati! Seperti belati yang menusuki pusat bunga, menikam jantung cinta."
Kamu menggeleng bersikeras bahwa akan ada sebuah musim yang akan datang padamu. Dia bertanya kenapa kamu begitu keras kepala menunggu musim-musim pendusta, mereka tidak pernah ada, tandasnya. Jo mengatakan bahwa memeriksa rak-rak buku, menata buku, mengatur anak buah di tiap ruangan, pasti lebih menyenangkan karena detik akan berdetak dalam waktu yang bergerak. Kamu tidak dijemukan oleh empat musim abadi yang berhenti pada dingin yang leleh, ricik yang berisik, atau beku yang rontok. Itu tidak ada! Nonsens!
"Buatlah menjadi ada. Bukankah kamu malaikat? Jo, apakah kamu bahagia menjadi malaikat?"
Jo mengatakan bahwa malaikat tidak pernah tahu bahagia, sedih, marah, cinta atau cemburu. Semua itu adalah musim yang tercuri dari kehidupan malaikat. Yang ada pada malaikat adalah kepatuhan. Malaikat patuh kepada Allah termasuk ketika Ia menyuruh para malaikat bersujud pada manusia. Lalu malaikat pun patuh untuk menjaga manusia. Karena itu yang ada pada malaikat hanyalah kebaikan.
"Menurutmu itu kebaikan?! Menurutku itu kebodohan, tahu! Cuma patuh-patuh-patuh! Menurut-menurut-menurut! Patuh kepada musim semi yang pasti memekarkan semua kelopak?"
***

Cahaya adalah lindap indah
ia gemintang di tingkap malam
dan benih-benih subur pada lalang
: gulita, adalah gergasi bermata pejam
"Jangan usir ia, pergi darimu —
sebab malam kuperlukan untuk bercumbu
dengan safa cintaku!"

(Effendy Wongso —
Jangan Takut Gelap!)

***

Kamu termenung seperti kena tenung. Kau pikir ternyata Jo juga seperti musim-musim pendusta yang tidak pernah datang itu. Padahal bukankah malaikat seharusnya setia? Tetapi sekarang ia ke mana? Lukamu serasa dicucur cuka.
Sepi sesaat. Tak ada suara. Sampai suara itu meledak-ledak kembali.
"Menurut kepada musim salju yang membekukan semua kuntum? Patuh dan menurut pada semua yang sudah diatur-Nya. Aku tidak mau jadi malaikat! Itu bego!" semburmu melahar.
Ia mengelilingimu dengan cahayanya yang berpendar seperti kabut selembut lumut. Kamu dilingkupi hening padahal di sekelilingmu bising. Rak-rak buku menjadi ngarai dan buku-buku menjadi sungai. Angin yang kusut masai leluasa lalu lalang di kisi-kisi. Ada gemerisik ricik di sisik genteng. Sedang daun jendela begitu tabah menadah basah.
Kamu mendengarkan semua percakapan alam lalu menceritakannya kembali kepada Jo. Begitu banyak yang kamu ceritakan. Tentang jantung yang terbelah dan ada paku di dalamnya, juga tentang mata yang pecah tetapi tidak kamu temukan sedu sedan di sana. Termasuk cerita bahwa kamu seperti mawar yang terserabut bersama akarnya. Tidak secantik mawar dalam rangkaian. Kamu seperti halaman buku terbuka. Huruf-hurufnya terburai berhamburan keluar berlomba dengan gerimis yang menepis. Dan kamu menari di tengahnya. Kakimu berjingkat dan tanganmu terangkat seperti pebalet. Sepatumu bergerak dalam ketukan irama riang. Kamu merasa ringan dan meluncur dari ruang ke ruang. Cahaya itu melebar ke seluruh ruangan. Dari ujung ke ujung, atas ke bawah, depan sampai belakang. Toko buku itu jadi benderang oleh kilau. Kamu berputar di dalam cahaya. Kamu tahu bahwa Jo sedang mendengar ceritamu.
"Jo, berikan musim yang tercuri itu. Carikan. Kembalikan. Mungkin ia terselip entah di rak yang mana?" pintamu sambil terus menyusur dinding.
Jo berjanji akan memberikan sebuah musim yang diambilnya dari tingkap jendela toko buku ini. Sebuah musim tanpa debu sehingga kamu tidak perlu bersin. Musim itu akan membuatmu mekar tanpa perlu menjadi mawar. "Karena kamu belukar liar yang tumbuh di padang terbakar. Tidak perlu menunggu fajar untuk mekar."
Ia meniup dan kamu menghirup.
Sebuah musim yang ia katakan tiba-tiba tercipta di antara kalian. Seperti kuas yang memulas lukisan di atas kanvas. Ada matahari dan bintang yang bersinar bersama-sama, ada daun kecoklatan dalam kepingan es yang memucat, lalu menggambar ujung, tubuh dan akar ilalang di tubuhmu yang menghilang. Kamu menjadi begitu langsing dan tipis sehingga capung pun bisa hinggap di atasmu walau hanya dengan sebelah kaki.
"Ini Awe," ia terus menggambarimu.
"Yahwe?" tanyamu.
"Tidak. Yahwe menciptakan Awe. Awe menghadirkan semua musim yang kamu inginkan. Awe tidak perlu patuh dan menurut seperti malaikat. Ia bisa membuat matahari berwarna ungu, daun berwarna putih, salju yang menghitam, serta kuntum tanpa kelopak. Dan... Awe bisa mencabut paku di jantungmu...."
Kemudian kau serahkan jantungmu. Awe adalah helai-helai yang memanjang dari tingkap-tingkap. Ia menjulur seperti rambut perawan sampai ke pinggang. Ia membujur seperti sulur-sulur di kebun anggur.
Ternyata Awe tidak mencabut paku dari jantungmu. Ia menggambar Dajjal sedang menanam paku di sana. Paku-paku yang tumbuh subur tanpa perlu disiram hujan dan dimandikan matahari. Paku-paku yang membiak tanpa perlu dikunjungi para musim yang selalu dusta padamu.
"Jo, akhirnya aku punya sebuah musim yang tidak pembohong!" Kamu melonjak gembira. Kamu lari dari rak ke rak membuka semua buku, membuka sampulnya dan menelan isinya yang menjadi pupuk untuk ladang pakumu.
Sekonyong ada deru dari pintu depan menerobos. Ia lelaki setengah malaikat. Kamu tahu karena ia memiliki sebelah sayap saja dan ia berjalan setengah terbang dengan sebelah kelepak yang berkepak. Tetapi ia terbuat dari debu tanah yang dibentuk serupa Allah. Ia makan semua biji dan tumbuhan yang tumbuh di tanah. Ia menabrak cahaya. Ia pemilik toko buku ini, Han, namanya.
"Hei! Apa yang kamu lakukan?" Ia bertanya kepadamu tetapi tidak marah. Bukankah ia setengah malaikat? Maka malaikat tidak pernah marah. Tetapi ia juga setengah manusia. Dan manusia suka berbicara. Maka ia berbicara kepadamu. "Membaca itu perlu dan harus. Allah pun menyuruh kita membaca bulan, bintang, dan matahari. Tetapi kalau kamu membaca sambil menari seperti ini, maka huruf-huruf tidak bisa terletak pada kata-kata yang tepat. Kata-kata tidak bisa membentuk kalimat yang indah. Dan kalimat tidak bisa menjadi buku yang bagus."
"Aku tidak membaca. Aku sedang berbicara. Aku tidak menari. Aku sedang mencari." Seperti biasa kamu selalu menangkis.
Kamu bercerita bahwa kamu sedang berbicara dengan malaikat bernama Jo. Malaikat tanpa sayap yang mencari musim yang tercuri. Lalu kalian sedang berkeliling di rak buku sebelah mana musim itu disembunyikan? Karena toko ini dipenuhi rak yang padat dengan buku. Ada yang menampakkan judulnya, ada juga yang kelihatan sisinya. Mereka rapat dan menumpuk seperti berpelukan. Jo membantumu menelisik buku demi buku, lembar demi lembar, untuk menemukan sebuah huruf kunci yang terselip, agar musim yang kamu nanti bisa kembali.
Han memandangmu dengan ganjil ketika kamu bercerita tentang mata Jo yang hitam dengan lingkaran putih di tengahnya. Apalagi ketika kamu katakan bahwa Jo telah membawakan sebuah musim abadi yang tidak pernah berhenti.
"Kau membual! Tidak ada malaikat tanpa sayap dan tak berjubah. Dan semua musim saling mencuri. Musim semi mencuri ranggas musim panas. Musim gugur mencuri gigil musim salju," Han menertawakan kisahmu tentang Jo.
Kamu tidak peduli. Kau bercerita bahwa Jo sudah memberi Awe, sebuah musim panen di ladang paku yang tak pernah layu. Ada Dajjal yang menanam, memupuk, menyiram, dan menyianginya. Dan kamu adalah ilalang yang selalu tumbuh tanpa peduli tangan-tangan yang rajin mencabut dan menyerabutmu.
Sebelah sayap Han berkepak membuyarkan cahaya yang mengelilingimu. Sebagai gantinya bulu-bulu halus rontok dari sayapnya lalu menempel di sela rambutmu. Kepalamu memutih seperti disiram hujan salju. Kamu berbangkis begitu keras sampai menyebabkan buku-buku terpental kembali kepada raknya. Halaman buku menjadi rapi. Huruf-huruf tertata sesuai aturannya. Han masih terus mengepakkan sebelah sayapnya. Embusannya dingin membuat Jo yang berpendar memudar. Cahayanya membeku seperti warna luntur di sayap kupu-kupu.
Ngarai hilang. Sungai hilang. Kabut hilang. Lumut hilang.
Awe tersedot baling-baling kipas angin yang ada di sepanjang lorong seperti anak gendewa yang ditarik mundur oleh busur. Ia surai waktu yang rapuh dan tak utuh. Tanganmu tak mampu melerai, musim itu terburai menjadi patahan pelangi di atas karpet abu-abu.
"Semua musim harus datang dan pergi. Tidak boleh berhenti," Han berjalan setengah terbang dengan sebelah sayap di antara semua ruang. Ia hidupkan kembali detik detak yang ada di setiap halaman buku yang mempunyai waktunya sendiri-sendiri. Ia meletakkan kembali matahari di langit-langit, angin di jendela, dan gerimis di atap.
Semua telah kembali seperti awalnya.
Kamu juga kembali.
Kembali menunggu.
Tapi kamu bukan sekadar menunggu empat musim yang tak kunjung tiba seperti dulu. Sekarang kamu juga menunggu Jo, malaikat bermata hitam dengan lingkaran putih di tengahnya.
Kamu ingin ia melukiskan ceritamu pada Awe. Cerita tentang api yang membakar api, hujan yang membasahi air, juga sekelompok awan yang cuma mampir sebentar memayungi kolam.
Kamu ingin ia menjawab pertanyaanmu kenapa api tidak hangus terbakar api? Kenapa air tidak menjadi basah ketika tersiram hujan? Kenapa awan pergi ketika angin bernapas?
Kamu ingin Awe datang membawa musim panen di ladang paku.
Tapi Jo sudah tidak pernah datang lagi. Tidak pernah mendengarkan dan menjawab ceritamu. Juga tidak datang membawa musim lagi.
Kamu termenung seperti kena tenung. Kau pikir ternyata Jo juga seperti musim-musim pendusta yang tidak pernah datang itu. Padahal bukankah malaikat seharusnya setia? Tetapi sekarang ia ke mana? Lukamu serasa dicucur cuka.
Sesaat ponselmu bergetar. Ada pesan singkat dari nomor yang belum kamu ketahui.

Skrg aku tdk suka mendengar cerita sedih. Ga asik. Krn aku sdh jd manusia. Jo bkn malaikat lg.


sumber

Jumat, 21 Januari 2011

daftar gaji pemimpin dunia

Presiden SBY kemarin untuk yang ketiga kalinya curhat tentang gajinya, jadi penasaran berapa gaji presiden kita. Dari seluruh pemimpin dunia, ternyata gji presiden kita berada di urutan ke-16 dengan pendapatan (versi the economist) US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji SBY ini sekitar 28 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia.


Berikut peringkat gaji per tahun pemimpin negara di dunia, dari yang tertinggi sampai terendah, dari The Economist:

1. Singapura US$ 2,18 juta atau setara Rp 19,8 miliar (40 kali pendapatan per kapita)
2. Hong Kong US$ 513 ribu atau sekitar Rp 4,7 miliar (20 kali pendapatan per kapita)
3. Kenya US$ 423 ribu atau setara Rp 2,9 miliar (240 kali pendapatan per kapita)
4. AS US$ 400 ribu atau setara Rp 3,6 miliar (8 kali pendapatan per kapita)
5. Prancis US$ 302 ribu atau sekitar Rp 2,7 miliar (9 kali pendapatan per kapita)
6. Kanada US$ 296 ribu atau sekitar Rp 2,6 miliar (7 kali pendapatan per kapita)
7. Irlandia US$ 287 ribu atau sekitar Rp 2,6 miliar (5 kali pendapatan per kapita)
8. Australia US$ 286 ribu atau sekitar Rp 2,6 miliar (5 kali pendapatan per kapita)
9. Jerman US$ 283 ribu atau sekitar Rp 2,5 miliar (8 kali pendapatan per kapita)
10. Jepang US$ 273 ribu atau sekitar Rp 2,4 miliar (8 kali pendapatan per kapita)
11. Afrika Selatan US$ 272 ribu atau sekitar Rp 2,4 miliar (26 kali pendapatan per kapita)
12. Selandia Baru US$ 271 ribu atau sekitar Rp 2,4 miliar (10 kali pendapatan per kapita)
13. Inggris US$ 215 ribu atau setara Rp 1,9 miliar (7 kali pendapatan per kapita)
14. Taiwan US$ 184 ribu atu sekitar Rp 1,6 miliar (7 kali pendapatan per kapita)
15. Korea Selatan US$ 136 ribu atau sekitar Rp 1,2 miliar (9 kali pendapatan per kapita)
16. Indonesia US$ 124 ribu atau sekitar Rp 1,1 miliar (28 kali pendapatan per kapita)
17. Israel US$ 120 ribu atau sekitar Rp 1 miliar (4 kali pendapatan per kapita)
18. Rusia US$ 115 ribu atau sekitar Rp 1 miliar (7 kali pendapatan per kapita)
19. Argentina US$ 74 ribu atau setara Rp 674 juta (5 kali pendapatan per kapita)
20. Polandia US$ 45 ribu atau setara Rp 409 juta (3 kali pendapatan per kapita)
21. China US$ 10 ribu atau sekitar Rp 96 juta (2 kali pendapatan per kapita)
22. India US$ 4 ribu atau sekiitar Rp Rp 37,3 juta (2 kali pendapatan per kapita)

Selasa, 18 Januari 2011

puisi pk BJ Habibie tuk (alm) bu Ainun

akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.

Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya,
dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.

Kau tahu sayang,
rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.

Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua,
tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia,
kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
selamat jalan sayang,
cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
selamat jalan,
calon bidadari surgaku ….

BJ.HABIBIE

Senin, 17 Januari 2011

karena ayahku (Gus Dur)

by : inayah (putri alm Gus Dur)

Kalau aku orang dermawan

karena Ayahku yang mengajarkan

Kalau aku jadi orang toleran,

itu karena Ayahku yang menjadi panutan

Kalau aku jadi orang beriman,

itu karena Ayahku yang menjadi imam

Kalau aku jadi orang rendah hati,

itu karena ayahku yang menginspirasi,

Kalau aku jadi orang cinta kasih,

itu karena ayahku memberi tanpa pamrih

Kalau aku bikin puisi ini

karena ayahku yang rendah hati.